Subscribe:

Senin, 09 Januari 2012

THE WITNESS OF OUR LOVE PART 4

Hatiku berdebar-debar karena sekamar dengan cewek seperti dia. Antara nafsu dan nurani bertempur. Aku menatap Rini sebentar, cewek itu tersenyum kearahku. Memang Rini tergolong mahasiswi Indonesia yang cantik dengan payudaranya yang termasuk besar.

Hanya bayangan Ira dan Catherine yang tetap membuatku tersadar. Kalau saja tidak ada mereka berdua, mungkin, bahkan sangat mungkin, aku sekarang sedang menindih tubuh Rini sementara penisku keluar-masuk vaginanya dan kami berdua bersimbah keringat.

”Uhh…aku mandi dulu yaa…anggep aja rumah sendiri…kalo haus, dikulkas ada minuman” aku meregangkan tubuh sambil berjalan ke kamar mandi diiringi anggukan kepala Rini

Ketika air menyiram tubuhku, aku merasa seakan hidup kembali. Aaah…hari yang melelahkan…dihina Anna, dihibur Catherine, dipukul Tom dan kini sekamar dengan Rini. 

“Hmph!” aku menahan tawa. 

Tiba-tiba saja semua hal buruk yang kualami adalah sebuah mimpi dan aku baru saja terbangun dari mimpi itu.

CKLEK!

DEG!!

Aku terperanjat dan aku terdiam seketika. Pikiran akan kemungkinan-kemungkinan buruk bersliweran dikepalaku.

“Astaga…kumohon…dari semua kemungkinan, jangan yang ini…please!!”

“Arif…” suara Rini dengan lembut memanggilku

”TIDAAAAAAAAAKKKKKK!!!!!”

Aku bergeming, tidak berani membalikkan tubuh ataupun menoleh karena shower di kamar mandiku terletak diseberang pintu, jadi aku kalau mandi membelakangi pintu.

“Ri…Rini…?” suaraku bergetar

”Arif…hhh…hhh…” nafasnya berat dan ia merangkul tubuhku dari belakang, tubuh kami berdua basah dibawah pancuran air hangat

Astaga…Rini tidak mengenakan pakaian! Bisa kurasakan dari kulitnya yang bergesekan dengan kulitku secara langsung. Buah dadanya yang montok dan kenyal itu ditekan-tekankan ke punggungku. 

Hatiku bisa saja menolak, tapi tubuhku tidak bisa berbohong. ‘Adik’ ku mulai terbangun.

“Ke…kenapa kamu masuk?” aku tergagap, berusaha menepis semua pikiran kotor

”Puasin aku…Rif…aku mohon…” Rini mendesah berat ditelingaku sementara tangannya menyusuri pinggangku dan mengarah ke penisku.

DEG DEG DEG DEG

”Rif…aku mohon…” tangannya menggenggam penisku dan mulai mengocoknya

Tanganku mulai bergerak akan meraih tangannya ketika tiba-tiba terdengar suara

“Kamu udah ngambil virginitasku Rif…jangan tinggalin aku…”

”Percaya deh sama aku…AKU NGGAK AKAN PERNAH NGEKHIANATIN KAMU”

Kata-kata yang diucapkan Ira terngiang-ngiang dikepalaku. Aku segera tersadar dan tanganku berhenti bergerak kearah tangan Rini.

“R-Rin…jangan Rin…stop…” suaraku bergetar menahan nafsu

”Kenapa Rif…hhh…hhh…aku nggak cukup seksi?” desahnya menggoda

”Bukan Rin…itu…”

”Ayolah…tubuhmu berkata lain…aku tau kamu ingin mencicipi tubuhku…” bisiknya vulgar, ia menekankan payudaranya ke punggungku dengan lebih keras

”Hekh!! Stop Rin…stop!” hampir saja aku kalah! 

“Aku pengen ngerasain penismu di dalem memekku Rif…”

Aku terdiam, mengatur nafas yang sudah tidak terkendali.

”Jangan buat aku nunggu…ayo, kita nikmatin sore ini bareng-bareng di kasur…” ia mendesah

Rini masih mengocok penisku yang sudah berdiri tegak seperti TNI menjalani upacara 17 Agustus didepan Presiden.

“Kenapa Riff….? Ayo laahh….” Rini masih mencoba

”Kita nggak seharusnya ngelakuin kayak gini…!” aku sudah kepayahan menahan nafsu yang menggebu-gebu. Aku sadar, sekali gebrak lagi maka aku kalah

Rini terdiam. Ia menarik tangannya dari penisku dan melepaskan pelukannya lalu melangkah tanpa suara.

Kudengar suara pintu kamar mandiku ditutup.
Aku menghela nafas lega. Aku menang…Ira, aku menang!!

Pikiranku masih penuh fantasi kotor dengan Rini…ah memang insting laki-laki begitu liar…

“Mungkin tadi kalo dilanjutin, aku sekarang udah dikasur sama Rini…wah, bakalan abis tuh cewek…pasti bakalan kuremes-remes kayak waktu sama Ira. Hah?! Ira?! Astaga aku mikir apa heh?!” aku menggeleng-gelengkan kepalaku

Setelah mengenakan celana pendek, aku keluar kamar mandi dengan hati riang…ah, lagipula Rini pasti sudah pergi karena penolakanku tadi…yes! Aku bisa tidur dengan tenang.

Aku berjalan sambil bersiul-siul riang dengan handuk kukalungkan di leher.

“Hmm hmm hmm…HEKH!!” aku tercekat

Rini sedang duduk dikasurku dan ia menatapku dengan ceria, ia masih seperti tadi saat kutinggal mandi, berpakaian dan rapi. Senyum tak henti-hentinya tersungging dibibirnya yang tipis itu.

”Ah? Tadi…tadi bukannya kamu…kamu…itu…eehh…tadi…” aku tergagap sambil berulang kali menunjuk kamar mandi

Rini tertawa melihat tingkahku sambil mengangguk-angguk.

“Aku balik ke kamarku ya Rif…makasih udah nampung aku!” ia menarik tanganku hingga kami berdiri di dekat pintu kamar.

”Eh..iya…sama-sama…” aku menjawab dengan ekspresi heran

Rini berjinjit dan berbisik di telingaku
”Kamu cowok pertama yang lulus Rif…kalau aku cari pacar, kamu bakal jadi cowok pertama yang kutemui!” 

Ia tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya kemudian dengan gerakan cepat ia mengecup pipiku dan berlari.

“Hah?” aku melongo menatapnya berlari menuruni tangga.

Setelah menutup pintu, aku berbaring di kasur sambil memikirkan kata-kata Rini.

”Lulus? Jadi tadi itu ujian?? Dan aku lulus? Argh…tambah rumit aja ni masalah!”

Aku begitu sibuk memikirkannya hingga jatuh tertidur.

THE WITNESS OF OUR LOVE PART 3

Uuugghh….kepalaku terbentur tembok…tapi untunglah tidak apa-apa. Aku merapikan buku-buku yang jatuh kelantai, yeah…moodku rusak jadi kuputuskan untuk pulang ke apartemen. 

Aku berjalan dengan tenang dikoridor, kulihat tiap pasang mata memperhatikanku dengan ekspresi aneh. Aku mencoba tidak peduli hingga akhirnya aku berpapasan dengan Rini yang baru saja keluar ruangan. Ia mengenakan kemeja hijau dan celana jeans panjang, Rini sedikit lebih pendek dariku.

“Hei Rif!” sapanya ceria

“Oh, halo…pulang Rin?” aku bertanya

“Iya…eh, kalo nggak salah kita satu apartemen kan ya?”

“Hmm? Aku malah nggak tau…hehehe…apa iya sih?” aku terkekeh

“Iya tau! Hhahaha…pulang bareng yuk?” ajaknya

Langkahnya tiba-tiba berhenti. Sejenak Rini terdiam memperhatikan wajahku. Aku salah tingkah dipandangi seperti itu sehingga aku mencoba menetralisir suasana. 

“Ada apa? Aku tau mukaku jelek, tapi apa harus segitunya? Hahaha” aku memaksakan diri tertawa

“Kamu kenapa Rif? Berantem yah?” tanya Rini penuh selidik

“Ah? Nggak kok…kenapa sih?” aku bingung

“Itu…itu…” Rini menunjuk sudut bibirnya sendiri

Aku menyetuh sudut bibir kiriku, ada cairan kental yang setelah kulihat adalah darah. Aku cukup kaget karena bibirku terluka. Tiba-tiba ada sesuatu yang dingin ditempelkan pada sudut bibirku. Cepat-cepat aku menoleh

“Dasar…anak cowok…kerjaannya berantem melulu” ucapnya sambil tersenyum.
Rini mengelap darah di bibirku dengan tissue basah. 

“Eh..Rin…kamu sadar nggak lagi ngapain?” aku malu diperhatikan oleh orang-orang yang lewat

”Sadar kok…” Rini masih menyeka darah dibibirku

”Hei, nggak enak dilihat orang…” aku menggenggam dan menurunkan tangannya

Rini tersipu dan menunduk ketika aku memegang tangannya. 

”Makasih ya…” aku tersenyum semanis mungkin sambil mengambil tissue basah yang digenggam oleh Rini.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku berbalik dan berjalan pulang sambil sesekali menempelkan tissue itu ke bibir untuk menghentikan darah.

”A…Arif…?” suaranya menghentikanku.

”Ugh…apa lagi sih?  
Aku berhenti dengan agak malas

”Hm? Kenapa?” aku berbalik

”Ng…nggak jadi pulang bareng?” ia menyeret-nyeret ucapannya, gugup.

”Oh iya…hahaha…lupa…yaudah yuk pulang!” 

Kami berjalan berdampingan melewati tepian sungai menuju apartemen kami.

===========
Di apartemen,
Apartemen tempatku tinggal sebenarnya tergolong cukup mewah, walaupun bangunannya tua. Cat berwarna krem yang mendominasi seluruh bangunan membuatnya tidak terlihat tua.

Kamar XX

”Aduh! Kunci kamar di Vina!” Rini memekik sambil menyebutkan nama teman sekamarnya.

Rini mengaduk-aduk tasnya mencari sebuah kunci. Wajahnya tampak putus asa.
Aku yang berdiri disisinya hanya memperhatikan.

”Loh? Nggak bawa satu-satu apa?” aku bertanya

”Nggak…ehm…Rif…ennggg….”

”Oh…jangan bilang kamu mau numpang dikamarku…  

”Aku boleh…emmm…numpang di kamarmu dulu?” Rini tertunduk

”Yeah…bagus! Tebakanku benar…sial…padahal aku mau mandi terus tidur!”

”Nggg….gimana yah…?” aku merasa agak keberatan

”Pliiss…Vina masih sibuk di kampus…pulangnya ntar sorean…” ia berkata dengan wajah memelas

Aduh…aku bawa cewek ini ke kamarku? Nanti orang-orang punya pikiran yang nggak-nggak nih…apalagi mahasiswa kampus ku rata-rata tinggal di apartemen ini. Ah sudahlah…toh kami tidak melakukan apapun.

Kamarku terletak di tingkat paling atas. Kakakku sengaja membeli bukan menyewa kamar itu dan ia memberikannya untuk aku. Aku dan kakakku memang selalu akur, apalagi dia adalah orang yang sangat baik kepadaku, jadi dia tidak sungkan-sungkan membeli satu kamar dan diberikannya padaku.

Kami sampai di lantai paling atas. Aku merogoh saku mencari kunci kamar.

“Maaf berantakan” aku tersenyum sambil membukakan pintu

Kamarku berukuran cukup besar, 6x6 meter dengan perabotan yang cukup lengkap dan bernuansa kabin kayu yang memiliki satu jendela yang menghadap kearah menara Eiffel. Aroma hutan pinus tercium dengan jelas. Ada ranjang besar yang cukup untuk memuat 2 orang dewasa, sebuah sofa, TV, AC, kulkas, speaker surround sound, dan sebuah DVD Player. 

“Waaahh…mewah banget…kamu pasti anak orang kaya ya?” Rini menyapukan pandang ke kamarku dengan takjub.

”Bukan…ini semua kakakku yang beliin…yang kaya itu kakakku, bukan aku…” aku merasa tidak enak hati

”Ooh…Wow…ranjangnya empuk banget!” Rini duduk ditepi ranjangku dan memeluk bantal

Aku tersenyum. Kulirik jam dinding, pukul 5 sore. Matahari bersinar lembut.

Ketika aku tengah menaruh tas dan melepas sepatu, tiba-tiba Rini bertanya
“Rif?”

”Yoi?” aku menoleh

”Udah berapa cewek yang tidur disini Rif?” tatapnya penasaran

”Eh?” aku tertegun, tidak menyangka Rini bakal sefrontal ini

”Udah berapa cewek Rif?” ia mendesakku

“Nggak. Nggak ada satupun” aku kembali melepas ikatan sepatuku yang satunya

Rini hanya menganggukkan kepala dengan mulut membentuk huruf O.